Surabaya, (Sultra1news) – Setiap mahluk hidup pasti mengalami proses perubahan dan perkembangan dalam dirinya. Baik melalui proses metaformosa, evolusi, revolusi, rehabilitasi, ataupun rekontruksi.

Presiden Republik Indonesia pertama, Ir Soekarno pernah mengenalkan konsep revolusi yaitu merusak yang lama dan membangun yang baru. Bung Karno, panggilan akrab Ir. Soekarno juga menyampaikan gagasan cemerlang yang menempatkan pemuda sebagai garda terdepan proses revolusi.

“Beri aku sepuluh pemuda yang dadanya menyala-nyala, maka akan aku guncangkan dunia,” begitu Bung Karno menggambarkan generasi muda yang revolusioner. Adalah Ageng Marhaendhika, seorang pelukis asal Pekalongan Jawa Tengah, mencoba menterjemahkan kembali pemikiran Bung Karno dalam konteks kekinian.

Konsep revolusi tersebut kemudian ditafsirkan ulang menjadi rekontruksi, namun dengan tetap mengusung nilai-nilai perbaikan diri. Pria yang terlahir dari keluarga seniman lukis ini, menuangkan konsep rekontruksi dalam ekspresi karya lukis yang dibuatnya.

Lukisan bertema gunung meletus memiliki karakter kuat dalam menggambarkan rekontruksi diri. (foto/nanang)

“Saya melukis untuk mengekspresikan apa yang ada dalam diri saya,” kata pelukis Ageng Marhaendhika, kepada Sultra1news, Jumat (24/5/2024). Pameran lukisan pertama Ageng dilakukan di Surabaya, sebelumnya pernah pameran di Solo Exhibition.

Salah satunya adalah lukisan akrobatik, menggambarkan situasi industri batik di Kota Pekalongan yang limbahnya menyebabkan tanah turunnya hingga 8 cm, dan berpotensi rob. Limbah batik tersebut menyebabkan banyak pohon tercemar dan mati.

Pengerjaan pembuatan lukisan tersebut memakan waktu hingga dua bulan, biasanya cukup hanya dua minggu “Saya pernah membuat lukisan sebesar 5 meter, dan pernah juga mengerjakan sebuah lukisan yang pengerjaannya hingga 2 tahun,” jelas Ageng, disela-sela pembukaan pameran lukisan yang ke 3 di hotel Artotel Town Square & Suites Surabaya.

Karya lukisan lain berjudul Terbakar Lalu Tumbuh, yang menceritakan tentang kebakaran hutan, dan Layu Mengembang, juga bercerita tentang kerusakan lingkungan, kemudian  ada lagi yang berjudul Nyawiji, atau menyatu, menceritakan sebuah harmoni baru dari rekontruksi diri yaitu merubah mindset dan sudut pandang baru.

Bella Austin tampak antusias mengamati salah satu lukisan. (foto/nanang)

Lukisan gunung berapi banyak mendapatkan perhatian pengunjung, karena memiliki kesan yang kuat pada gambar api, seakan-akan mewakili sebuah sikap tanpa sedikit pun kebimbangan. “Lukisan yang saya kembangkan adalah batik bergambar  lingkungan, dengan ciri khas gambar akar,” tambah Ageng.

Ada beberapa tokoh yang menginspirasi Ageng, diantaranya seorang anggota DPRD Provinsi, dan seorang pelukis senior bersama Nasirun. Kedepan Ageng ada keinginan untuk beralih mengeksplorasi lukisan dengan tema dan aliran yang lain, hal ini sebagai bentuk dinamisasi diri.

Ageng juga menerima order lukisan, namun  hal tersebut sepanjang sesuai karakternya. (nanang)

Sumber