Dalam sejarah dakwah Islam di Indonesia, peran seorang dai sangatlah krusial. Mereka tidak hanya menyebarkan ajaran agama, tetapi juga menjadi pelita di tengah gelapnya penjajahan dan kebodohan. Abbas Hassan, seorang dai, penulis, dan Pemred majalah Harmonis, mengisahkan perjuangan para dai pada masa kolonial Belanda yang penuh dengan tantangan dan pengorbanan.

Sultra1news – Kisah ini diceritakan oleh Abbas Hassan, seorang dai, penulis, dan Pemred majalah Harmonis. Dalam salah satu perjalanannya di masa penjajahan Belanda pada tahun 1911, Abbas Hassan menggambarkan betapa beratnya perjuangan para muballigh dalam menyebarkan dakwah Islam.

Salah satu kisah yang mencerminkan kesulitan ini adalah pengalaman Injik Menan Balingka, seorang muballigh terkenal, yang diundang untuk berdakwah di Solok.

Suatu hari, Injik Menan Balingka diundang dari Bukittinggi ke Solok untuk menyampaikan dakwah. Abbas Hassan, yang menulis kisah ini, turut serta dalam perjalanan tersebut. Dengan uang pinjaman sebesar Rp. 2.50 dari seorang pedagang emas di Jalan Komidi, mereka membeli dua tiket kereta api. Perjalanan ini diwarnai dengan kesederhanaan luar biasa, di mana mereka hanya makan seadanya karena keterbatasan dana.

Setibanya di Solok, panitia yang dijanjikan untuk menjemput mereka di stasiun tidak kunjung datang. Mereka langsung menuju masjid untuk menunaikan shalat Ashar. Rasa lapar yang luar biasa mulai terasa karena sejak pagi mereka hanya makan sebiji pisang goreng. Dengan terpaksa, mereka mampir ke warung dekat masjid untuk makan.

Setelah makan, panitia masih belum datang. Dalam kebingungan, Injik Menan memutuskan untuk pergi ke pasar dekat stasiun untuk menjual jubahnya sendiri. Beruntung, sebelum jubah itu terjual, ada seseorang yang mengenal baik Injik Menan dan dengan rasa terharu membayarkan makanan mereka.

Pada malam hari, tabligh akbar berlangsung dengan ramai. Injik Menan bersemangat dalam menyampaikan dakwahnya. Setelah acara, mereka tidur di masjid dengan fasilitas yang sangat minim: hanya dua bantal tua yang banyak tuma, dan tikar masjid. Malam itu agak dingin, dan mereka bersyukur karena jubah Injik Menan tidak jadi terjual sehingga bisa digunakan sebagai selimut.

Keesokan paginya, setelah panitia membelikan tiket kereta untuk kembali ke Bukittinggi, mereka diberikan uang sebesar lima rupiah. Dengan rasa syukur, Injik Menan bercanda bahwa Solok memberikan dua ringgit yang bisa digunakan untuk makan telur asin di Batu Tebal, sebuah halte kereta api terkenal dengan telur asinnya.

Namun, sebelum mereka sempat membeli telur asin, terungkap bahwa “dua ringgit” yang diberikan sebenarnya adalah dua gobang yang dibungkus rapi dengan timah rokok. Uang tersebut rupanya dimasukkan seseorang ke dalam kotak masjid di Solok, dan panitia tanpa memeriksa lebih dulu telah menyerahkannya kepada mereka.

Kisah ini menggambarkan betapa beratnya jalan sunyi seorang dai dalam berdakwah di masa penjajahan Belanda. Kehadiran mereka sangat dibutuhkan untuk menyebarkan ajaran Islam dan memberikan pencerahan kepada masyarakat. Namun, kebutuhan hidup mereka sering kali terabaikan.

Perjuangan para dai seperti Injik Menan mengajarkan kita tentang ketulusan dan pengorbanan. Mereka rela menghadapi berbagai kesulitan demi menjalankan tugas mulianya.

Kita harus belajar untuk lebih memperhatikan kesejahteraan para dai, yang hingga kini masih menjadi pilar penting dalam menyebarkan ajaran Islam. Dukungan kepada mereka bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga penghargaan dan penghormatan atas jasa-jasanya yang luar biasa. (MBS)

Sumber