Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Pegiat Media

Ilustrasi : Karyudi Sutajah Putra

Jakarta – Pekerja dan pengusaha ramai-ramai menolak kebijakan pemerintah memotong gaji pekerja sebesar 3% untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Alhasil, Tapera pun dipelesetkan kepanjangannya menjadi “Terus Aja (Saja) Peras Rakyat”.

Biang keroknya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 20 Mei 2024.

Merujuk PP tersebut, gaji, upah, atau penghasilan pegawai negeri, pegawai swasta dan pekerja mandiri (freelancer) akan kena potongan tambahan untuk simpanan Tapera. Besarannya mencapai 3%.

Ya, besaran iuran Tapera ditetapkan sebesar 3% dari gaji atau upah peserta dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri. Untuk peserta pekerja ditanggung bersama pemberi kerja sebesar 0,5% dan pekerja sebesar 2,5%. Sementara untuk peserta pekerja mandiri seluruh iuran ditanggung yang bersangkutan.

Iuran itu akan dikelola Badan Pengelola Tapera sebagai simpanan. Adapun fasilitas yang ditawarkan dalam program Tapera ini adalah pembiayaan kepemilikan rumah pertama, pembiayaan pembangunan rumah atau pembiayaan rumah pertama di atas tanah pribadi, pembiayaan perbaikan atau renovasi rumah, dan terakhir iuran ini sebagai tabungan purnakerja yang dapat diambil jika peserta telah memasuki usia 58 tahun.

Hanya ada satu kata: tolak! Serikat-serikat pekerja pun menolak PP Tapera tersebut. Di antaranya Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia).

Mereka berdalih, para pekerja saat ini sudah cukup tertekan dengan rendahnya upah yang kenaikannya masih jauh dari harapan, tak sebanding dengan kenaikan inflasi dan harga barang kebutuhan pokok. Belum lagi, para pekerja masih belum pulih dari pukulan ekonomi yang dipicu oleh pandemi Covid-19 sejak 2019.

Pengusaha pun setali tiga uang. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), misalnya. Mereka menolak kebijakan pemerintah terkait Tapera, karena beban pungutan yang ditanggung pemberi kerja maupun pekerja saat ini sudah terlalu banyak.

Iuran Tapera akan menambah beban baru, baik bagi pemberi kerja maupun pekerja. Saat ini beban pengutan yang telah ditanggung pemberi kerja sebesar 18,24%-19,74% dari penghasilan pekerja.

Diketahui, total dana kelolaan Badan Pengelola (BP) Tapera tahun 2023 mencapai Rp7,23 triliun dari 3,07 juta peserta, sebuah nominal yang tidak kecil.

Sebelumnya, pemerintah juga menaikkan Pajak Penghasilan (PPN) dari 11% menjadi 12%. Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), Pasal 7 menyebutkan kenaikan PPN menjadi 12% berlaku per 1 Januari 2025.

Sementara itu, tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) telah lebih dulu naik. Dalam 5 tahun terakhir, kenaikan tarif CHT cukup eksesif. Tahun 2020 naik 23%, tahun 2021 naik 12,5%, tahun 2022 naik 12%, tahun 2023 dan 2024 naik 10%.

Kenaikan tarif CHT yang eksesif dalam 5 tahun terakhir ini semakin mendekatkan petani tembakau dalam jurang kematian. Bagi petani tembakau, salah satu pemicu kerontokan ekonomi mereka selama 5 tahun terakhir ini merupakan dampak dari kenaikan tarif CHT yang sangat tinggi.

Tingginya tarif CHT membuat perusahaan mengurangi produksi yang secara tidak langsung mengurangi pembelian bahan baku. Padahal, 95% tembakau yang dihasilkan petani untuk bahan baku rokok.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencatat penerimaan pajak hingga April 2024 mencapai Rp624,19 triliun atau 31,38% dari APBN 2024.

Tak Henti Peras Rakyat

Pemerintah memang tampaknya tak pernah berhenti “memeras” rakyat. Sektor pajak selalu menjadi andalan dalam penerimaan negara.

Dalam APBN 2024, pendapatan negara tahun 2024 diestimasi sebesar Rp2.802,3 triliun, dengan sumber terbesar dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.309,9 triliun, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp492 triliun.

Sementara belanja negara dalam APBN 2024 direncanakan sebesar Rp3.325,1 triliun, dengan alokasi terbesar untuk Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp2.467,5 triliun, dan Transfer ke Daerah sebesar Rp857,6 triliun.

Menkeu Sri Mulyani memang tak pernah kreatif. Ia hanya bisa menggenjot pajak di satu sisi, dan di sisi lain mengandalkan utang luar negeri.

Kementerian Keuangan mencatat utang luar negeri Indonesia mencapai Rp8.253,09 triliun per Januari 2024. Ini jauh lebih besar dari total belanja APBN 2024 yang “hanya” sebesar Rp3.325,1 triliun.

Sudah begitu, pemerintah juga tak mampu mencegah aparatur pajak dan cukai korupsi. Betapa banyak kasus korupsi di sektor pajak dan cukai. Sebut saja kasus Gayus Tambunan dan Rafael Alun.

Jadi, di satu pihak rakyat “diperas” melalui pajak dan cukai, serta sebentar lagi Tapera, namun di pihak lain perut para pegawai pajak dan cukai dibiarkan gendut.

Ihwal Tapera tadi juga mengingatkan kita akan Dana Haji yang besarannya pada 2023 mencapai Rp166,7 triliun.

Banyak yang berasumsi Dana Haji ini dipinjam sementara oleh pemerintah untuk dana pembangunan infrastruktur yang sangat masif. Meski pemerintah membantah, namun asumsi publik tersebut sah-sah saja. Sebab, faktanya pemerintah memang selalu kekurangan anggaran, sehingga rakyatlah yang selalu menjadi incaran ‘pemerasan”.

Begitu pun Tapera ini. Jika nanti sudah terkumpul, apakah juga akan dipinjam sementara oleh pemerintah untuk dana pembangunan infrastruktur, termasuk di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di mana pemerintah kesannya gagah-gagahan?

Padahal, pemerintah hanya bisa “mengagahi” rakyat. Termasuk lewat Tapera yang ditolak pekerja dan pengusaha ini.

Sumber