Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)

Karyudi Sutajah Putra

Jakarta, Fusilatnews – Bila Rene Descartes (1596-1650) bisa berkata, “Cogito ergo sum” (Aku berpikir maka aku ada), dan Albert Camus (1913-1960) bisa berkata, “I rebel, therefore I exist” (Aku memberontak maka aku ada), maka seorang politikus bisa berkata, “Aku banyak pendukung maka aku ada.”

Demikianlah. Eksistensi atau keberadaan seorang politikus ditentukan oleh seberapa banyak jumlah pendukungnya. Semakin banyak jumlah pendukungnya maka keberadaannya semakin diakui dan kuat.

Implikasinya, jika eksistensi seorang politikus dianggap sebagai kebenaran maka semakin banyak pendukung akan dianggap semakin benar. Seorang politikus pun bisa berkata, “Aku banyak pendukung maka aku benar.”

Ya, kebenaran di dunia politik itu nisbi. Relatif. Kebenaran di dunia politik ditentukan oleh seberapa banyak jumlah pendukungnya. Semakin banyak jumlah pendukung maka akan semakin dianggap benar.

Artinya, kebenaran di dunia politik ditentukan oleh suara terbanyak. Benar atau salah, jujur atau bohong, asalkan banyak suara yang mendukung maka akan dianggap benar.

Alhasil, demokrasi akhirnya “dipimpin” oleh suara terbanyak, bukan oleh “hikmat kebijaksanaan” sebagaimana diamanatkan Sila ke-4 Pancasila, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”.

Buloggate dan Bruneigate

Kita tentu masih ingat isu skandal Buloggate dan Bruneigate yang dijadikan landasan MPR, yang saat itu diketuai Amin Rais, untuk melengserkan Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada 23 Juli 2001.

Gus Dur sudah terlanjur jatuh secara politik. Namun hingga kini Buloggate dan Bruneigate tidak pernah terbukti kebenarannya secara hukum.

Ya, karena saat itu banyak anggota MPR yang mendukung kebenaran Buloggate dan Bruneigate maka Gus Dur pun dilengserkan, karena saat itu kedua skandal tersebut dianggap benar lantaran banyak anggota MPR yang mendukungnya.

Diketahui, lengsernya Gus Dur dipicu oleh laporan yang disampaikan Panitia Khusus (Pansus) DPR terkait dugaan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Bulog sebesar 4 juta dollar AS oleh Gus Dur. Isu ini kemudian disebut sebagai Buloggate.

Selain itu, Gus Dur juga diduga menggunakan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah sebesar 2 juta dollar AS. Isu ini kemudian disebut sebagai Bruneigate.

Berdasarkan kedua tuduhan tersebut, Gus Dur dianggap melanggar amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan, dan Ketetapan (Tap) MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Putusan MK 90/2023 dan Putusan MA 23P/2024

Masih segar dalam ingatan kita, Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan Putusan No 90/PUU-XXI/2023 pada 16 Oktober 2023. Putusan ini memuat tentang perubahan batas usia syarat pencalonan presiden dan wakil presiden di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Putusan mengenai uji materi Pasal 169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ini memberikan peluang kepada seseorang yang belum berusia 40 tahun untuk maju sebagai capres atau cawapres, asalkan punya pengalaman sebagai kepala daerah.

Putusan tersebut kontroversial lantaran dianggap membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, mencalonkan diri sebagai cawapres berpasangan dengan capres Prabowo Subianto.

Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang diketuai mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie kemudian menerbitkan Putusan No 2 Tahun 2023 yang menyatakan bahwa Hakim Konstitusi Anwar Usman melanggar etik berat akibat mengetuk palu Putusan MK No 90 Tahun 2023. Dalam putusannya, MKMK juga mencopot adik ipar Jokowi itu dari jabatan Ketua MK.

Tidak itu saja. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pun menjatuhkan sanksi “peringatan keras terakhir” kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari dan anggota KPU lainnya karena melanggar kode etik terkait proses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres di Pilpres 2024.

Secara hukum, Putusan MK No 90 Tahun 2023 itu benar menurut MK. Tapi secara etik, putusan tersebut salah menurut MKMK dan DKPP.

Lalu, bagaimana secara politik? Karena mayoritas partai politik tidak menolak, maka Putusan MK No 90 Tahun 2023 tersebut dianggap benar. Apalagi setelah Prabowo-Gibran terpilih di Pilpres 2024 dengan raihan suara yang cukup meyakinkan: 58,58%!

Masih segar pula dalam ingatan kita, pada 29 Mei 2024 Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Putusan No 23P/HUM/Tahun 2024 yang mengubah penghitungan batas usia calon kepala daerah menjadi 30 tahun saat dilantik, bukan saat mendaftar.

Banyak pihak mencurigai putusan MA ini untuk meloloskan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi, yang baru akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024.

Dalam Putusan No 23P/2024, MA menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU (PKPU) No 9 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati atau Walikota.

MA pun memerintahkan KPU untuk menghapus Pasal 4 huruf d yang berbunyi: “Berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati, wakil bupati, walikota, dan wakilwali kota terhitung sejak penetapan pasangan calon.”

MA kemudian mengubah syarat tersebut dengan menambahkan “terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.”

Dengan putusan itu, berarti MA membatalkan isi undang-undang, karena PKPU No 9 Tahun 2020 mengacu pada UU No 10 Tahun 2016. PKPU No 9 Tahun 2020 tersebut justru berdasarkan isi UU Nomor 10 Tahun 2016.

Alhasil, MA melampaui kewenangannya, karena pembatalan undang-undang hanya bisa dilakukan melalui “judicial review” (uji materi) oleh MK dan “legislative review” oleh DPR. Sedangkan MA tidak memiliki wewenang untuk membatalkan isi undang-undang.

Lantas, bagaimana kebenaran Putusan MA No 23P/2024 tersebut? KPU sedang munyusun PKPU baru untuk melaksanakan putusan kontroversial tersebut.

Sejauh ini mayoritas parpol yang akan mengajukan calon dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 juga tidak menolak Putusan MA No 23P/2024 tersebut.

Artinya, karena banyak pendukungnya, maka Putusan MA No 23P/2024 yang secara hukum salah itu secara politik dianggap benar. Apalagi jika setelah Kaesang mencalonkan diri nanti, terpilih di Pilkada 2024.

“Vox populi vox Dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan!

Sumber