Ilustrasi Mom Shaming di Indonesia (Foto : Gettyimages)

Ketua Health Collaborative Center (HCC), Ray Wagiu Basrowi mengungkapkan hasil penemuannya terkait tingginya angka mom shaming di Indonesia.

Hasil riset HCC tersebut menyebut angka kejadian mom shaming di Indonesia mencapai 72 persen. Hal yang lebih disayangkan, sebagian besar pelaku yang mempermalukan seorang ibu, justru berasal dari keluarga dan orang terdekat. 

“Hasil studi menunjukkan, 7 dari 10 ibu di Indonesia yang diwakili responden penelitian ini pernah mengalami bentuk mom shaming, yang berdampak signifikan terhadap kesehatan mental dan emosional mereka,” katanya, Senin (01/07).

Diketahui, mom shaming adalah sebuah tindakan mengkritik atau bahkan mempermalukan seorang ibu terkait cara mereka membesarkan anaknya. Kritik tersebut berasal dari berbagai sumber, termasuk keluarga, teman, bahkan orang asing dan sering kali diperkuat oleh media sosial.

Mom shaming bisa terjadi dalam berbagai bentuk, seperti komentar tentang pilihan menyusui, pemilihan metode dalam mendisiplinkan anak, keputusan bekerja atau tinggal di rumah, dan banyak aspek lain dari pengasuhan.

Menurut Ray, para responden dari penelitiannya, paling sering mendapatkan perlakuan mom shaming dari keluarga, kerabat, dan lingkungan tempat mereka tinggal. 

“Bisa dari ibu, mertua, atau tante atau keluarga yang tinggal di dekat rumah mereka,” kata Ray.

Inisiator Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa ini juga menyayangkan hal tersebut, karena keluarga seharusnya menjadi support system utama dalam melindungi para ibu dari perlakuan mom shaming. 

Menurut Ray, mom shaming terjadi karena kurang optimalnya peranan support system yaitu keluarga yang harusnya melindungi mereka.

“Akibatnya selain tidak bisa melawan dan menghindar, malahan ibu yang mengalami mom shaming, (harus) mengorbankan pola asuh atau gaya parenting yang bisa saja sudah baik,” kata Ray yang juga pengajar Kedokteran Kerja di Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.

Ditemukan juga, peran dari media sosial ternyata tidak terlalu signifikan dalam perlakuan mom shaming. Para ibu responden survei ini hanya sedikit yang terpengaruh mom shaming dari media sosial.

“Artinya hipotesis selama ini bahwa media sosial sebagai kontributor mom shaming ternyata tidak sepenuhnya tepat. Karena justru studi ini menemukan keluarga lah yang menjadi aktor utama mom shaming,” kata Ray.

Sementara itu, Research Associate HCC, Yoli Farradika menyampaikan, mayoritas ibu yang mengalami mom shaming, cenderung terpengaruh oleh ejekan yang diterima.

“Sehingga secara deskripsi, lebih dari 50 persen terpaksa mengganti pola asuh dan parenting untuk mengikuti kritik dari pelaku mom shaming,” katanya. (*)

Sumber