Yunani menangani sampah makanan, gambar sayuran yang dibuang. Kredit: OpenIDUSER2 Wikimedia Commons GFDL

Yunani termasuk di antara lima negara dengan jumlah limbah makanan terbesar di UE, bersama dengan Siprus, Belgia, Denmark, dan Portugal, menurut platform data global Statista.

Limbah makanan adalah makanan yang dimaksudkan untuk konsumsi manusia yang terbuang dan hilang. Bukan hanya makanan yang dibuang di rumah karena tidak dimakan atau busuk. Hal ini juga tidak mengacu pada sisa makanan dari restoran. Hal ini mengacu pada makanan mentah dan produk yang hilang pada tahap pertanian, proses pemanenan, atau selama transportasi dan penyimpanan. Limbah makanan dapat terjadi di mana saja di seluruh rantai pasokan.

Selama bertahun-tahun, fenomena sampah makanan terfokus pada negara-negara berkembang dimana malnutrisi dan kelaparan lebih sering terjadi. Namun, dalam dua dekade terakhir, negara-negara maju mulai memperhatikan limbah makanan, dan sikap terhadap limbah makanan, secara umum, telah berubah seiring dengan semakin banyaknya orang di negara-negara kaya yang mencari bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi mereka. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyadari pentingnya masalah sampah makanan dan, pada awal tahun 2013, meresmikan program “Think-Eat-Save: Reduce Your Footprint” dengan tujuan mengurangi sampah makanan secara drastis di negara-negara kaya.

Saat ini, permasalahan sampah makanan telah mencapai proporsi yang mengkhawatirkan, meluas hingga ke dimensi lingkungan dan ekonomi, dan hal ini berkaitan erat dengan kondisi sosial dan moral yang mempengaruhi konsumen. Di dunia di mana jutaan orang menghadapi kerawanan pangan, limbah makanan sekali pakai merupakan krisis moral dan lingkungan.

Alasan sebenarnya mengapa orang membuang makanan bervariasi dan sangat bergantung pada kondisi negara dan wilayah tertentu. Kebiasaan konsumen dibentuk oleh faktor sosial, sikap konsumen tertentu, dan pandangan terhadap makanan. Terakhir, ada juga fakta bahwa konsumen mendapat informasi yang salah untuk dipertimbangkan.

Yunani termasuk di antara 5 negara UE yang paling banyak membuang sampah makanan.
Yunani termasuk di antara 5 negara UE yang memiliki limbah makanan terbanyak.

PBB bertujuan untuk mengurangi limbah makanan hingga 50 persen

Perserikatan Bangsa-Bangsa bertujuan untuk mengurangi limbah makanan setidaknya 50 persen pada tahun 2030 untuk pembangunan berkelanjutan. Uni Eropa telah menetapkan target untuk mengurangi limbah makanan sebesar 50 persen pada tahun 2030 sebagai bagian dari Strategi Farm to Fork, yang merupakan dasar dari Kesepakatan Hijau Eropa. Yunani, sama seperti negara-negara anggota UE lainnya, berkomitmen untuk mengurangi limbah makanan, karena pencegahan limbah merupakan langkah penting sesuai dengan kebijakan ekonomi sirkular.

Di Eropa, sampah makanan telah menjadi masalah besar. Menurut data Eurostat dari 27 negara anggota, setiap orang di Uni Eropa menghasilkan rata-rata 131 kilogram sampah makanan pada tahun 2021, dengan perkiraan 88 juta ton makanan terbuang setiap tahunnya. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 143 miliar euro, menurut Komisi Eropa.

Yunani juga tidak terkecuali dari masalah ini. Menurut studi yang dilakukan oleh Barilla Center for Food & Nutrition, Yunani membuang sekitar 1,3 juta ton makanan setiap tahunnya, mewakili sebagian besar produksi dan impor pangan negara tersebut.

Apa penyebab sisa makanan?

Beberapa faktor berkontribusi terhadap limbah makanan di Yunani dan Eropa. Di tingkat rumah tangga, pembelian berlebihan dan penyimpanan yang tidak tepat menjadi penyebab utamanya. Konsumen sering kali membeli lebih banyak makanan daripada yang mereka butuhkan, dipengaruhi oleh promosi dan diskon besar-besaran, yang menyebabkan pembusukan dan pembuangan makanan yang tidak terpakai. Selain itu, kurangnya pengetahuan tentang teknik penyimpanan yang tepat akan memperburuk masalah, menyebabkan barang-barang yang mudah rusak menjadi rusak sebelum waktunya.

Di restoran, orang sering kali memesan lebih banyak daripada yang mereka butuhkan karena mereka merasa bahwa apa yang mereka pesan mungkin tidak cukup atau karena mereka ingin mengesankan perusahaan dan pelanggan lain dengan menjadi orang yang menghabiskan banyak uang.

Di tingkat ritel, standar estetika dan kebijakan tanggal kedaluwarsa memegang peranan penting. Supermarket dan toko sering kali membuang makanan yang dapat dimakan sempurna dan tidak memenuhi standar kualitas visual. Hanya beberapa toko yang menawarkan produk ini dengan harga yang jauh lebih murah agar tidak dibuang. Selain itu, kebingungan mengenai tanggal “terbaik sebelum” dan “digunakan sebelum” menyebabkan konsumen membuang produk makanan yang benar-benar baik sebelum waktunya.

Inefisiensi pertanian dan produksi juga berkontribusi terhadap limbah makanan. Teknik pemanenan yang tidak sempurna, infrastruktur produksi hingga ke rak yang tidak memadai, pengemasan yang tidak memadai, dan manajemen rantai pasok yang kurang optimal mengakibatkan sejumlah besar makanan terbuang sebelum sampai di toko kelontong.

Dampak lingkungan dan ekonomi

Dampak lingkungan dari limbah makanan sangat besar. Pembusukan makanan di tempat pembuangan sampah menghasilkan metana, gas rumah kaca yang berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim. Sumber daya yang digunakan dalam produksi pangan, termasuk air, energi, dan tanah, terbuang sia-sia jika makanan dibuang. Komisi Eropa memperkirakan limbah makanan menyumbang 8 persen emisi gas rumah kaca global.

Dari sudut pandang ekonomi, sampah makanan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Sumber daya yang diinvestasikan untuk menanam, memproses, dan mengangkut makanan terbuang sia-sia, dan beban keuangan pengelolaan sampah ditanggung oleh pemerintah kota dan pembayar pajak. Bagi Yunani, negara yang menghadapi tantangan ekonomi yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, dampak ekonomi dari limbah makanan sangatlah besar.

Besarnya limbah makanan menyoroti perlunya strategi komprehensif yang melibatkan produsen makanan, konsumen, pengecer, dan pembuat kebijakan. Dengan mengatasi penyebab limbah makanan dan menerapkan solusi yang efektif, kita dapat mengurangi dampak lingkungan, mengurangi kerawanan pangan, dan menciptakan sistem pangan yang lebih berkelanjutan dan adil.

Penghematan pangan di Yunani

Berbeda dengan negara-negara maju lainnya, limbah makanan di Yunani dianggap sebagai masalah kemanusiaan selama krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 2010, ketika banyak warganya mengalami kerawanan pangan, menurut Ekonom. Pada saat itu, pengangguran telah mencapai hampir 20 persen, dan gubernur Bank Yunani menyatakan bahwa sepertiga penduduknya hidup di dekat atau di bawah garis kemiskinan. Krisis ini juga menyebabkan berkurangnya limbah makanan karena rumah tangga membeli lebih sedikit karena rendahnya pendapatan.

Pada akhir tahun 2010-an hingga awal tahun 2020-an, ketika perekonomian Yunani pulih kembali berkat bantuan inisiatif PBB dan UE, limbah makanan di Yunani mulai menjadi masalah yang perlu diatasi.

Inisiatif seperti organisasi Boroume (“Kita Boleh”) membuat kemajuan dalam mengurangi limbah makanan. Boroume menghubungkan kelebihan makanan dari supermarket, restoran, dan pasar petani dengan badan amal dan bank makanan, memastikan makanan yang dapat dimakan menjangkau mereka yang membutuhkan dan tidak berakhir di tempat pembuangan sampah.

Ada juga Aliansi Penghematan Pangan Yunani, yang merupakan upaya kolektif otoritas publik, badan profesional dan ilmiah, perusahaan makanan dan katering dari semua tingkat rantai pasokan, organisasi sosial, dan badan komunitas akademis.

Tujuan LSM ini adalah untuk mengurangi sampah makanan melalui tindakan terkoordinasi untuk memberikan informasi kepada masyarakat dan meningkatkan kesadaran akan luas dan dampak sampah makanan. Hal ini akan dilakukan melalui kombinasi strategi, termasuk pelatihan dan pendidikan masyarakat tentang praktik yang efektif, mendorong penelitian dan inovasi, dan memfasilitasi donasi kelebihan makanan. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik terkait juga akan diawasi.

Sumber