RIBUAN pohon kopi tumbuh subur di Desa Pegayaman. Tepatnya di Dusun Amerta Sari, Pegayaman bagian atas atau di bukit Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali. Pohon-pohon kopi tersebut tak hanya menghidupi petani dan keluarganya, tetapi juga berperan penting merawat bumi. Tentu saja bumi Buleleng.

Menurut Wayan Inwan, seorang petani kopi, warga Dusun Amerta Sari, di wilayah Amerta Sari, tidak kurang terhampar 100 ha tanaman kopi. Jika dalam satu hektar, ada 1.800 pohon, bisa dijumlah berapa ribu pohon kopi yang ada di lahan 100 ha tersebut.

Tak berlebihan kalau wilayah itu disebut bukit kopi. Bukit kopi Pegayaman. Pohon-pohon kopi itulah yang menghidupi para petani dan keluarganya. Setidaknya ada 50 KK yang membudidayakan tanaman kopi di bukit tersebut. Mereka tergabung dalam Kelompok Tani Sari Mekar yang diketuai Wayan Inwan.

Inwan sendiri mengelola 7 ha tanaman kopi. 1,5 ha milik sendiri, dan 5 ha garapan. Menggarap kebun kopi, kata dia, merupakan ‘pekerjaan’ yang diwarisi nenek moyangnya. “Nenek moyang kami sudah menanam kopi sejak dulu. Kami meneruskan,” katanya dalam perbincangan di kebunnya di bukit kopi Dusun Amerta Sari, Pegayaman atas.

Orangtuanya dulu menanam kopi jenis lokal. Pada tahun 2004, petani di sana melakukan peremajaan tanaman kopi. Beberapa varietas kopi ditanam, tapi semuanya jenis kopi arabika. Ada varietas S795, kopnyor, dan sigarar utang. Bahkan kini ia mencoba menanam varietas kopi gayo.

Inwan menceritakan, dalam 1 ha, jika cuaca bagus, akan menghasilkan lebih kurang 8 kwintal kopi basah. Atau sekitar 4 kwintal kopi kering. Namun, jika cuaca buruk, hasilnya bisa berkurang. Seperti tahun 2020, karena cuaca buruk, hasil per hektarnya hanya 1 kwintal.

Dengan hasil semacam itu, tentu saja cukup menghidupi petani dan keluarganya. Apalagi harga kopi terus membaik. Menurut Inwan, hasil dari berkebun kopi sangat menjanjikan. “Bahkan sangat menjanjikan. Harga cengkeh saja bisa kalah. Biaya cengkeh lebih mahal, dibandingkan biaya (panen-red) kopi,” katanya.

Dijelaskan, harga kopi per kilo di kisaran Rp 85 ribu, hingga Rp 120 ribu untuk kopi kering. Apalagi kopi di bukit kopi Pegayaman dibudidayakan secara organik. Kelompok Tani Sari Mekar telah mendapatkan sertifikat kopi organik dari Control Union yang berbasis di Belanda.

Selain sertifikat organik dari Control Union, petani kopi di bukit kopi Amerta Sari Pegayaman juga mendapat sertifikat dari lembaga Rain Forest, yakni sertifikat internasional terkait peningkatan kesejahteraan lingkungan dan masyarakat dengan praktik pertanian ramah lingkungan.

Dengan sertifikat tersebut, kopi petani bisa tembus ke pasar internasional. Bekerjasama dengan PT Indokom, kopi-kopi organik selalu diminta pasar dunia, yakni Amerika Serikat, Belanda dan Perancis. Setiap tahun, permintaan lewat PT Indokom mencapai 20 kontainer. Bahkan tahun lalu, 2023, permintaan mencapai 30 kontainer.

Menurut Inwan, hingga saat ini pihaknya belum mampu memenuhi permintaan 20 kontainer setiap tahunnya. “Dari petani saya sendiri baru bisa 5 kontainer. Karena itu, kami berusaha mengembangkan kopi dengan memberikan bibit-bibit kopi kepada petani, untuk memperluas lahan kopi,” ujarnya.

Ia menjelaskan, selain memperluas lahan tanaman kopi, pihaknya terus meningkatkan mutu kopi. Salah satunya dengan terus memakai pupuk organik. Pupuk organik yang diproduksi sendiri di wilayah itu.

“Kalau mendatangkan pupuk dari luar ditolak oleh pemberi sertifikat. Walaupun dibilang organik. Sebab, belum tentu itu benar-benar asli organik. Karena itu, kami produksi pupuk sendiri. Kami mengolah limbah kopi dan pupuk kendang yang diolah jadi pupuk organik,” jelasnya.

Pekerja untuk memetik kopi juga tidak sulit dicari. Mereka berasal dari wilayah sekitarnya, dengan standar upah yang tidak merugikan mereka. Sebab, kata dia, untuk mendapatkan sertifikat dari Rain Forest, upah untuk pekerja pemetik kopi harus memenuhi standar dari Rain Forest. “Kalau tidak sesuai, kami bisa dikeluarkan dari Rainforest,” sebut Inwan.

Saat ini, upah untuk pemetik kopi Rp 2.500 per kilogram untuk petik merah. Dalam satu hari, dengan rentang waktu mulai pukul 07.30 hingga pukul 13.30, setiap pekerja bisa menghasilkan 30 – 50 kilogram kopi petik merah.

Karena itulah, kata Inwan, “kopi bagi kami di sini adalah kehidupan.” Kehidupan bagi petani dan keluarganya, termasuk warga di sekitarnya. Kopi juga adalah kehidupan bagi bumi.

Tanaman kopi adalah tanaman perawat bumi. Ia menyerap air, dan menyimpannya menjadi mata air. “Kalau pohon lain memiliki tiga cabang akar, untuk ukuran yang sama, pohon kopi memiliki 10 cabang akar. Itulah kenapa pohon kopi menjadi penyimpan air yang sangat baik,” papar Inwan.

Menurutnya, jika di bukit Pegayaman tersebut tidak ada pohon kopi, sumber mata air akan habis. Buleleng bawah akan kena dampaknya. Jadi, pohon kopi menjadi semacam benteng ekosistem bagi Buleleng.

Pohon kopi juga menyumbangkan oksigen bagi bumi dan manusia. Setiap pohon kopi, menghasilkan setidaknya 3 kg oksigen setiap hari. Sementara setiap manusia membutuhkan 1,5 kg oksigen setiap hari. Jadi, setiap pohon kopi setidaknya menyumbangkan oksigen untuk dua orang setiap harinya. Bayangkan, di bukit kopi Pegayaman, saat ini ada ribuan pohon kopi yang terhampar di 100-an ha lahan. Berapa ratus ribu kilogram oksigen yang disumbangkan kepada bumi dan manusia! (bs)

Sumber