Ketika Presiden Jokowi mengumumkan ambisinya untuk membangun infrastruktur besar-besaran, banyak dari kita berharap bahwa ini akan menjadi momentum besar bagi Indonesia untuk memperbaiki layanan publik. Di mata publik, pembangunan jalan tol dianggap sebagai upaya memperbaiki konektivitas antarwilayah dan meningkatkan perekonomian daerah. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul pertanyaan penting: apakah pembangunan ini benar-benar dilakukan demi kepentingan rakyat, atau hanya menjadi lahan bisnis yang menguntungkan segelintir pihak?

Jalan Tol: Dari Pelayanan Publik Menjadi Mesin Uang

Pembangunan jalan tol seharusnya menjadi bagian dari pelayanan publik, sebuah inisiatif negara yang bertujuan untuk memberikan akses yang lebih baik kepada masyarakat. Di banyak negara, jalan tol dibangun dengan menggunakan dana negara, dan biayanya ditekan serendah mungkin untuk menjamin bahwa infrastruktur ini berfungsi sebagai penopang kemajuan bersama.

Namun, di era Jokowi, pembangunan jalan tol telah berubah menjadi bisnis yang tujuannya mencari keuntungan. Infrastruktur yang awalnya dibiayai oleh uang rakyat melalui pajak, kini justru dikenakan tarif yang tinggi saat masyarakat menggunakannya. Jalan tol yang seharusnya menjadi solusi untuk mempercepat mobilitas, kini justru menjadi beban tambahan bagi masyarakat. Rakyat membayar dua kali: pertama melalui pajak, kedua melalui tarif tol yang terus naik.

Siapa yang Diuntungkan?

Pertanyaan besar yang harus kita tanyakan: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari semua ini? Tentu saja, perusahaan swasta yang mengoperasikan tol menjadi pihak yang paling diuntungkan. Alih-alih memperlakukan jalan tol sebagai fasilitas publik, proyek ini menjadi sumber keuntungan besar bagi perusahaan-perusahaan tersebut. Pemilik konsesi tol dan investor mendapatkan keuntungan jangka panjang, sementara rakyat yang setiap hari menggunakan jalan tol harus merogoh kocek lebih dalam.

Selain itu, patut dicermati bahwa dalam beberapa kasus, perusahaan yang terlibat dalam pembangunan dan pengelolaan jalan tol ini memiliki hubungan erat dengan elit politik. Ini menimbulkan spekulasi bahwa proyek-proyek infrastruktur besar ini bukan hanya sekadar layanan publik, melainkan juga instrumen politik dan ekonomi yang menguntungkan kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan.

Akses untuk Siapa?

Salah satu kritik terbesar terhadap kebijakan ini adalah masalah aksesibilitas. Jalan tol memang mempercepat perjalanan, tetapi tidak semua orang bisa menikmatinya. Tarif tol yang terus meningkat membuatnya tidak terjangkau bagi sebagian masyarakat, terutama yang berada di kelas ekonomi menengah ke bawah. Mereka yang sehari-hari harus menggunakan kendaraan pribadi untuk bekerja atau berdagang, kini menghadapi beban tambahan yang justru semakin memperburuk situasi ekonomi mereka.

Dengan kata lain, proyek infrastruktur ini tampaknya lebih bermanfaat bagi golongan menengah ke atas yang memiliki kendaraan pribadi dan kemampuan finansial untuk membayar tol, sementara rakyat kecil yang sebenarnya membutuhkan akses mobilitas yang murah malah dibiarkan terpinggirkan.

 Jalan Tol dan Beban Ekonomi Rakyat

Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan jalan tol ini memang mempermudah konektivitas antarwilayah dan mempercepat pergerakan barang dan jasa. Namun, keberhasilan infrastruktur ini tidak dapat diukur hanya dari beton dan aspal yang membentang. Kebijakan ini telah menambah beban ekonomi bagi rakyat, terutama karena biaya yang terus meningkat dan ketidakadilan dalam aksesibilitas.

Ketika masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk bisa bergerak dari satu tempat ke tempat lain, mereka kehilangan daya beli untuk hal-hal lain yang lebih esensial. Beban ini menjadi lebih terasa bagi masyarakat yang hidup di kota-kota besar di mana jalan tol menjadi pilihan utama untuk menghindari kemacetan. Ironisnya, solusi yang dijual sebagai cara untuk mempercepat mobilitas justru menjadi jebakan biaya bagi rakyat.

Solusi atau Kebijakan yang Salah Arah?

Pada akhirnya, kita harus mempertanyakan kebijakan ini. Apakah benar pembangunan jalan tol yang massif ini merupakan solusi yang tepat untuk memperbaiki layanan publik, atau justru menjadi kebijakan yang salah arah? Ketika negara menjadikan infrastruktur sebagai bisnis yang menghasilkan uang dari rakyatnya sendiri, fungsi negara sebagai pelayan publik mulai tergeser.

Infrastruktur seharusnya tidak hanya dilihat sebagai economic asset tetapi juga sebagai social asset yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, di bawah era Jokowi, pembangunan jalan tol lebih tampak sebagai proyek ekonomi dengan tujuan meraih keuntungan daripada sebagai bagian dari pelayanan publik yang harusnya bisa diakses oleh semua kalangan dengan adil.

Kesimpulan: Jalan Menuju Keuntungan, Bukan Keadilan

Pembangunan jalan tol di era Jokowi membuka mata kita bahwa infrastruktur yang seharusnya menjadi bagian dari pelayanan publik bisa berubah menjadi instrumen bisnis yang hanya menguntungkan segelintir orang. Jalan tol yang dibangun dengan dana rakyat, kini justru menjerat rakyat dalam skema tarif yang membebani. Ketika pembangunan tidak lagi berfokus pada kesejahteraan rakyat, melainkan pada kepentingan ekonomi elit, maka kita harus bertanya: apakah ini benar-benar pembangunan untuk rakyat, atau hanya demi keuntungan bagi sebagian kecil saja?

Dalam hal ini, kebijakan infrastruktur di era Jokowi, terutama dalam hal pembangunan jalan tol, bukan hanya soal fisik bangunan, tetapi juga tentang arah kebijakan ekonomi yang lebih luas. Arah yang tampaknya semakin menjauh dari prinsip-prinsip pelayanan publik yang seharusnya menjadi inti dari tugas negara.

Sumber