Sebuah laporan baru dari Greenpeace dan organisasi lingkungan lainnya mengungkapkan bahwa perusahaan pengelola hutan tanaman industri di Borneo, yang bertanggung jawab atas deforestasi besar-besaran, memiliki kaitan dengan konglomerat milik miliarder Indonesia, Sukanto Tanoto. Laporan ini menyoroti bagaimana jaringan perusahaan rahasia digunakan untuk menyembunyikan hubungan tersebut.

Laporan yang diterbitkan pada 19 Maret 2024 ini menuduh bahwa PT Mayawana Persada, sebuah perusahaan pengelola hutan di Borneo, telah menghancurkan kawasan hutan yang luas, merusak habitat orangutan Borneo, owa-owa berjanggut putih, serta spesies lain yang dilindungi. Kawasan hutan yang dibuka oleh perusahaan ini diperkirakan setara dengan setengah luas Singapura.

Menurut para peneliti dari Greenpeace International, Auriga Nusantara, dan kelompok konservasi lainnya, meskipun di atas kertas PT Mayawana Persada dikendalikan oleh serangkaian perusahaan induk yang tidak mengungkapkan nama pemegang saham, hubungan antara perusahaan ini dan Royal Golden Eagle (RGE) – konglomerat yang dimiliki oleh Sukanto Tanoto – menjadi semakin jelas.

“Struktur perusahaan yang kompleks ini pada dasarnya menyembunyikan pemilik manfaat akhir dan melindungi mereka dari risiko hukum dan reputasi terkait penghancuran hutan hujan tropis,” ujar Arie Rompas dari Greenpeace Indonesia dalam pernyataannya.

Penggunaan Perusahaan Anonim untuk Menghindari Akuntabilitas

Royal Golden Eagle, yang merupakan salah satu konglomerat terbesar di Asia dengan kepentingan di sektor bubur kertas, minyak sawit, dan energi, telah berkomitmen pada kebijakan “tanpa deforestasi” pada tahun 2015. Namun, laporan ini menuduh bahwa ekspansi RGE sebagai pemasok bubur kertas untuk merek-merek internasional terus meningkatkan permintaan terhadap serat kayu, yang pada akhirnya mendorong penghancuran hutan.

Melalui perusahaan-perusahaan anonim seperti PT Mayawana Persada, RGE dapat tetap mendapatkan keuntungan dari deforestasi sambil menjaga citra publiknya tetap bersih. “Penggunaan struktur kepemilikan anonim di antara perusahaan-perusahaan perkebunan bubur kertas memberi RGE kesempatan untuk mengontrol dan/atau mendapatkan manfaat dari operasi yang kontroversial sambil tetap mengklaim standar keberlanjutan yang tinggi di pasar global,” tulis laporan tersebut.

Pembelaan RGE dan Bantahan Keterlibatan

Menanggapi tuduhan ini, juru bicara Asia Pacific Resources International Holdings Ltd. (APRIL), anak perusahaan RGE yang bergerak di sektor bubur kertas dan kertas, menegaskan bahwa tidak ada hubungan antara RGE, pemegang sahamnya, dan PT Mayawana Persada. Mereka juga menyatakan bahwa semua pasokan serat kayu mereka mematuhi kebijakan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, yang secara eksplisit berkomitmen untuk tidak melakukan deforestasi.

Namun, laporan ini bukan yang pertama kali mengungkap penggunaan perusahaan cangkang oleh perusahaan-perusahaan yang secara langsung atau tidak langsung dikendalikan oleh RGE. Pada tahun 2017, investigasi yang dilakukan oleh Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional (ICIJ) mengungkapkan bagaimana APRIL menggunakan perusahaan cangkang untuk mendapatkan pinjaman bank senilai $3 miliar dan memindahkan dana antar anak perusahaan sambil meminimalkan kewajiban pajaknya.

Hilman Afif, seorang aktivis dari Auriga Nusantara, menyatakan bahwa investigasi ini menunjukkan pola penggunaan perusahaan-perusahaan lepas pantai oleh RGE untuk menghindari transparansi dan menghindari akuntabilitas. “RGE dapat melakukan ini sebagian karena anak perusahaannya terus menarik miliaran dolar dalam pembiayaan dan basis pelanggan global,” katanya.

Penutup

Laporan ini semakin memperkuat kritik terhadap penggunaan perusahaan anonim dalam praktik bisnis yang kontroversial, khususnya dalam hal penghancuran lingkungan. Sementara RGE membantah semua tuduhan, dampak dari deforestasi yang terjadi di Borneo terus memicu kekhawatiran global terkait perlindungan hutan tropis dan spesies yang terancam punah.

Sumber