tirto.id – Eskalasi konflik di kawasan Timur Tengah berpotensi besar menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian secara global, tidak terkecuali Indonesia. Pasalnya, konflik yang melibatkan berbagai negara dan kelompok di wilayah Timur Tengah, termasuk Palestina, Israel, Hizbullah, dan Iran itu, disinyalir akan mengganggu rantai pasok global hingga mengerek harga minyak mentah dunia.

Pada pekan awal Oktober 2024, harga minyak mentah dunia naik pada perdagangan Kamis, (10/10/2024) pukul 9.26 WIB. Minyak Brent ditransaksikan seharga 76,88 dolar AS per barel, atau naik 0,39 persen dibandingkan perdagangan hari sebelumnya.

Perdagangan minyak jenis Brent, bergerak di kisaran terendah 76,68 dolar AS per barel dan tertinggi 77,05 dolar AS per barel. Sementara itu untuk minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) diperdagangkan pada harga 73,58 dolar AS per barel, naik 0,46 persen.


“Harga crude oil meningkat cukup tajam memasuki Oktober. Hal ini berpotensi mempengaruhi harga energi dalam negeri jika kenaikan terus berlanjut,” ujar peneliti ekonomi makro dan keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Riza Annisa Pujarama, menanggapi konflik terjadi di Timur Tengah kepada Tirto, Jumat (11/10/2024).


Riza menyebut, di kawasan Timur Tengah banyak negara yang menjadi produsen minyak dunia. Salah satunya adalah Iran, negara yang juga ikut terlibat konflik.

Berdasarkan data Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), Iran merupakan produsen minyak besar di skala global. OPEC mencatat, sepanjang 2022, Iran mampu memproduksi minyak mentah sekitar 2,55 juta barel per hari. Angka tersebut setara 3,5 persen dari total produksi minyak global, menjadikan Iran sebagai negara penghasil minyak terbesar ke-9 di dunia.

“Tentu meluasnya perang meningkatkan risiko ketidakpastian di pasar global terutama pasokan energi dan rantai pasok,” kata Riza.

Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) bahkan sudah mewanti-wanti eskalasi konflik Timur Tengah dapat menimbulkan dampak secara signifikan terhadap ekonomi global. Salah satunya adalah kenaikan harga-harga komoditas, termasuk minyak dan biji-bijian, serta peningkatan biaya pengiriman.

Potensi itu bisa terjadi karena kapal-kapal akan menghindari potensi serangan rudal oleh kelompok militan Houthi di Yaman ke kapal-kapal di Laut Merah. Kendati sebenarnya harga-harga komoditas saat ini lebih rendah daripada level tertingginya tahun lalu.

“Kami memantau situasi dengan seksama, dan ini adalah situasi yang sangat memprihatinkan dan penuh ketidakpastian,” ujar Juru Bicara IMF, Julie Kozack, merespons ketegangan eskalasi Timur Tengah.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, melihat bahwa konflik geopolitik ini secara umumnya akan berpotensi mempengaruhi harga komoditas terutama minyak dunia. Kondisi ini akan memberikan efek terhadap kebijakan perekonomian di negara-negara maju.

“Ketika konflik ini mendorong kenaikan harga minyak global, maka dampak ke negara-negara maju itu akan bisa direspon dengan melakukan penyesuaian kebijakan termasuk di dalamnya adalah suku bunga acuan bank sentral,” kata Yusuf kepada Tirto, Jumat (11/10/2024).

Dalam konteks Amerika Serikat, kata Yusuf, jika kenaikan harga minyak global itu terjadi secara signifikan atau tinggi rencana untuk memangkas kembali suku bunga acuan The Fed Federal Reserve (The Fed) itu akan mengecil dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya. Alhasil kebijakan suku bunga The Fed itu juga akan ikut mempengaruhi kebijakan suku bunga negara emerging market.

“Ini termasuk di dalamnya Indonesia melalui Bank Indonesia,” imbuh dia.

Tank militer Israel berkumpul di perbatasan Israel-Lebanon. (Ilia Yefimovich/dpa via Reuters Connect)

Kekhawatiran Harga Minyak & Perdagangan Indonesia

Di sisi lain, Yusuf melihat, ada kekhawatiran sebenarnya bagi Indonesia jika kenaikan harga minyak global terjadi sangat cepat dan tinggi di atas perkiraan harga minyak mentah Indonesia atau ICP pada asumsi makro APBN 2024. Jika itu yang terjadi, maka sudah tentu akan ada penyesuaian kebijakan pemerintah terutama di sisi APBN.

Penyesuaian kebijakan itu, pernah dilakukan pemerintah ketika konflik geopolitik Rusia dan Ukraina terjadi pada 2022 yang lau. Di mana kenaikan harga minyak relatif tinggi dan di atas prakiraan dari asumsi makro, sehingga ketika itu pemerintah memutuskan untuk melakukan penyesuaian harga BBM dan juga subsidi secara umum.

“Namun kalau kita bicara konteks saat ini, konflik geopolitik masih mempengaruhi harga minyak global di kisaran 78 hingga 79 dolar AS per barel dan harga ini relatif masih berada atau di bawah perkiraan harga asumsi minyak mentah Indonesia di APBN 2024 yang berada di atas 80 dolar AS per barel,” jelas dia.

Kendati masih relatif masih berada di level aman, Head of Industry and Regional Research Bank Mandiri, Dendi Ramdani, justru mewanti-wanti jika konflik di timur tengah berkepanjangan dan mempengaruhi kondisi harga minyak dunia. Pasalnya, pada APBN 2025 harga minyak mentah Indonesia relatif moderat sebesar 82 dolar AS per barel.

“Jadi kalau harga minyak di atas 82 dolar AS per barel ini, maka beban pengeluaran pemerintah akan meningkat,” kata dia kepada Tirto, Jumat (11/10/2024).

Jika harga minyak terus merangkak naik, kata Dendi, maka pemerintah akan terbebani subsidi BBM yang semakin tinggi yang pada akhirnya akan memperbesar defisit APBN. Ia bahkan memperkirakan defisit akan bertambah sebesar Rp6,9 triliun untuk setiap kenaikan 1 dolar AS harga minyak.

“Alternatif lain, pemerintah perlu mempertimbangkan opsi kenaikan harga BBM dan energi lainnya, untuk mengurangi beban subsidi jika harga minyak sudah diatas 82 dolar AS per barel,” kata dia.

Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, melihat bahwa konflik Timur Tengah belum bisa memicu harga minyak naik dan pelebaran subsidi energi. Namun, dampak tidak langsungnya akan terasa di pelemahan kinerja ekspor Indonesia ke Timur Tengah.

Untuk diketahui, sepanjang 2023 nilai perdagangan barang internasional Indonesia ke Timur Tengah mencapai 19,20 miliar dolar AS. Dari total tersebut, nilai ekspor Indonesia ke Timur Tengah sebesar mencapai 9,06 miliar dolar AS.

Tiga negara di kawasan Timur Tengah dengan nilai perdagangan terbesar dari Indonesia, yakni Arab Saudi dengan nilai ekspor 2,08 miliar dolar AS. Adapun komoditas utama kendaraan dan bagiannya, lemak dan minyak hewan/nabati, serta kayu dan barang dari kayu.

Negara kedua yaitu, Uni Emirat Arab (UEA) dengan nilai ekspor 2,65 miliar dolar AS dengan komoditas utama logam mulia dan perhiasan/permata, kendaraan dan bagiannya, serta lemak dan minyak hewani/nabati. Negara ketiga, yakni Oman dengan nilai ekspor 0,34 miliar dolar AS dengan komoditas lemak dan minyak hewan/nabati, kendaraan dan bagiannya, serta bahan bakar mineral.

“Ujungnya pendapatan negara dari ekspor bisa melemah,” kata dia kepada Tirto, Jumat (11/10/2024).

Selain itu, lanjut Bhima, efek geopolitik akan membuat investor beralih ke investasi yang dipandang aman. Maka, dengan menguatnya tensi geopolitik di Timur Tengah pemerintah perlu siapkan rencana mitigasi. Salah satunya lewat percepatan transisi energi, sehingga ketergantungan pada impor minyak bisa berkurang.

Kemudian pemerintah juga bisa berikan insentif lebih besar ke industri manufaktur yang berorientasi pasar Timur Tengah. Ini bisa dalam bentuk fasilitasi perdagangan ke negara alternatif, memperbesar serapan pasar domestik hingga keringanan bea keluar.

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, justru menjamin APBN tetap aman meski ada eskalasi konflik Timur Tengah. Pasalnya penguatan rupiah yang terjadi belakangan serta penurunan suku bunga turut mempengaruhi kestabilan APBN.

Harga komoditas yang melandai dibandingkan pertengahan tahun kemarin juga menjaga pelaksanaan APBN tetap aman hingga akhir tahun.

Kendati aman, Fabrio memastikan pemerintah tetap akan memantau perkembangan ekonomi ke depannya. APBN akan terus disiapkan sebagai shock absorber agar mampu meredam dampak guncangan global terhadap perekonomian nasional.

“Tantangan berikutnya tentu bagaimana kita mengantisipasi dan mitigasi untuk 2025 yang mungkin situasinya akan tetap sama,” kata Febrio sebagaimana dikutip Antara.

Sumber