Pada tahun 946 M, Changbaishan-Tianchi gunung berapidi perbatasan antara Cina dan Korea Utara, meletus hebat. Letusan tersebut melepaskan puluhan kilometer kubik magma dan memicu banjir besar dari danau di puncak gunung berapi, yang sekarang dikenal sebagai Danau Surga. Bukti terjadinya banjir masih terlihat berupa batu-batu besar dan batu-batu kecil yang tersapu dari puncak gunung berapi.
Changbaishan-Tianchi, yang dikenal sebagai Baekdu dalam bahasa Korea, bisa saja meletus lagi, sehingga ahli vulkanologi ingin memahami risiko yang ditimbulkannya. Untuk menyelidiki bencana banjir yang terjadi pasca letusan 946, Qin dkk. digali menjadi endapan berlapis dari gunung berapi. Penelitian mereka menunjukkan bahwa setidaknya 1 kilometer kubik air tumpah dari kaldera gunung berapi, mengikis sedimen dengan kecepatan hingga 34 meter per jam selama sekitar 3 jam.
Para peneliti juga menyimpulkan bahwa letusan terdiri dari dua fase, dengan banjir terjadi di antara keduanya. Ilmuwan lain berhipotesis bahwa banjir terjadi dalam satu letusan segera setelah letusan menghancurkan tepi gunung berapi, namun penulis penelitian ini menemukan bahwa skenario tersebut tidak realistis karena sedimen tidak tersebar luas seperti yang diharapkan dari ledakan mendadak. .
Para peneliti mengusulkan tiga skenario alternatif. Pada awalnya, air hanya meluap ke tepi kaldera sebagai respons terhadap naiknya magma dari bawahnya. Yang kedua, gunung berapi tersebut memicu gempa bumi yang meruntuhkan dinding bagian dalam kaldera ke dalam danau, menyebabkannya meluap. Dan yang ketiga, hujan sebelum peristiwa tersebut memenuhi kaldera hingga mencapai kapasitasnya dan melemahkan tepi kawah sehingga memungkinkan air mengalir keluar.
Memahami banjir kuno seperti peristiwa tahun 946 M dapat membantu masyarakat yang rentan bersiap menghadapi bencana alam di masa depan, tidak hanya di Changbaishan-Tianchi tetapi juga di gunung berapi di seluruh dunia, tulis para peneliti.
Artikel ini awalnya diterbitkan pada Eos.org. Bacalah artikel asli.