Pembangunan SDM: Fondasi Utama Negara

Dalam sejarah pembangunan Indonesia, era Presiden Soeharto menekankan pentingnya pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu keseimbangan antara pembangunan jasmani dan rohani. Ini adalah visi besar di mana pemerintah tidak hanya fokus pada infrastruktur fisik, tetapi juga memperhatikan pendidikan, kesehatan, serta moral dan spiritual rakyatnya. Dengan fokus pada SDM, Soeharto berupaya membangun negara dengan pondasi kuat yang bertumpu pada kecerdasan dan kualitas rakyatnya.

Sebaliknya, era Jokowi lebih sering diidentikkan dengan infrastruktur fisik seperti jalan tol, bandara, dan pelabuhan. Meskipun infrastruktur fisik tentu penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, kita harus bertanya: di mana fokus pada pembangunan SDM?

Hasil dari Mengabaikan SDM

Mengabaikan pembangunan SDM memiliki konsekuensi jangka panjang yang sangat serius. Setelah sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi, kita dapat melihat sejumlah masalah yang semakin nyata:

  1. Korupsi Merajalela: Salah satu indikator yang paling mencolok dari rendahnya kualitas SDM adalah maraknya korupsi di setiap sektor pemerintahan dan politik. Ketika pendidikan dan pembinaan moral diabaikan, mentalitas instan dan materialistis tumbuh subur, dan ini tampak jelas dalam banyaknya kasus korupsi, baik di tingkat nasional maupun daerah.
  2. Partai Politik Berorientasi Kekuasaan: Partai-partai politik tampaknya lebih berfokus pada meraih kekuasaan dan menikmati hasilnya, daripada berupaya mendorong reformasi yang berpihak pada rakyat. Ini adalah konsekuensi dari hilangnya pendidikan politik yang berbasis nilai dan moral yang kuat. Koalisi besar yang terbentuk dalam pemerintahan Jokowi sering kali tidak didasari oleh ideologi, melainkan kepentingan praktis untuk berbagi “kue” kekuasaan.

  3. Ekonomi yang Tidak Mencapai Target: Meskipun ada klaim keberhasilan dalam pembangunan jalan tol dan infrastruktur lainnya, kenyataannya pertumbuhan ekonomi tidak mencapai target yang diharapkan. Pengangguran masih menjadi masalah besar, terutama bagi generasi muda yang kesulitan mendapatkan pekerjaan. Dalam jangka panjang, pembangunan infrastruktur tanpa didukung SDM berkualitas justru bisa menjadi beban bagi negara.

  4. Kemiskinan yang Membengkak: Data kemiskinan menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan infrastruktur, kesejahteraan rakyat tidak meningkat secara signifikan. Infrastruktur tanpa SDM yang mampu memanfaatkannya dengan efektif hanya akan menjadi simbolis, tanpa memberikan dampak nyata bagi perbaikan taraf hidup rakyat.

  5. Pendidikan dan Kualitas SDM Menurun: Indikator yang paling mengkhawatirkan adalah penurunan kualitas pendidikan. Pada tahun 2024, Indonesia tercatat memiliki rata-rata IQ anak bangsa yang terendah di ASEAN. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa kebijakan pendidikan yang seharusnya menjadi prioritas telah diabaikan.

Jalan Tol: Simbol Pembangunan yang Kosong?

Dalam banyak kesempatan, Jokowi bangga akan pencapaiannya dalam pembangunan jalan tol. Namun, apakah jalan tol benar-benar menyelesaikan masalah mendasar bangsa ini? Infrastruktur fisik seperti jalan tol memang penting, tetapi jika pembangunan mental dan spiritual bangsa terabaikan, maka kita hanya membangun ‘jalan kosong’. Jalan tol yang megah tidak akan bermakna jika rakyat yang menggunakannya tidak memiliki kecerdasan, moralitas, dan keterampilan yang cukup untuk memajukan dirinya dan bangsanya.

Konklusi

Pembangunan infrastruktur fisik di bawah kepemimpinan Jokowi tentu tidak dapat dipandang sepenuhnya negatif. Namun, jika dibandingkan dengan persoalan yang lebih mendasar seperti pembangunan SDM, maka fokus pada infrastruktur fisik ini bisa dikatakan salah arah. Pembangunan sebuah bangsa sejatinya harus dimulai dari manusianya—dari pendidikan, moralitas, kesehatan, dan spiritualitasnya. Tanpa itu, pembangunan hanya akan tampak megah di permukaan, tetapi rapuh di dalam.

Maka, pertanyaan yang harus kita renungkan bersama adalah: apakah kita ingin menjadi bangsa yang bangga dengan jalan tol, atau bangsa yang berdaya dengan rakyat yang cerdas dan bermoral tinggi?

Sumber