Dalam kancah politik Indonesia yang terus bergejolak, langkah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk bergabung dalam kabinet pemerintahan Prabowo Subianto, yang diisi oleh Gerindra dan Gibran Rakabuming Raka, menciptakan kegaduhan yang signifikan. Terlebih, dalam konteks pemilihan presiden (pilpres) sebelumnya, PDIP yang mengusung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD bersikap diametral berlawanan dengan Gerindra yang mengusung Prabowo dan Gibran.

Ketegangan antara Presiden Joko Widodo dan PDIP, khususnya Megawati Soekarnoputri, semakin intens seiring dengan isu “pengkhianatan” Jokowi terhadap partai yang telah membesarkannya. Istilah betrayal politics menjadi relevan di sini, mencerminkan bagaimana para pemimpin dapat terjerat dalam konflik kepentingan yang merugikan koalisi yang telah dibangun. Jokowi dianggap melakukan tindakan yang merugikan PDIP dengan menjalin hubungan yang lebih erat dengan Gerindra dan menempatkan Gibran di posisi strategis.

Dalam konteks ini, kehadiran Gibran sebagai Wakil Presiden di pemerintahan Prabowo dapat dilihat sebagai bentuk political realignment, di mana partai-partai yang sebelumnya berseberangan kini berusaha menciptakan koalisi baru demi kepentingan politik yang lebih besar. Namun, pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah PDIP dapat menerima dukungan terhadap Gibran, yang di satu sisi merupakan anak dari Jokowi yang dianggap telah melakukan pengkhianatan terhadap partai?

Fenomena ini menciptakan perdebatan di kalangan publik dan politisi, di mana sebagian menganggap langkah tersebut sebagai political hypocrisy. Istilah ini merujuk pada praktik berpura-pura memiliki moralitas yang tinggi sambil mengabaikan prinsip-prinsip yang dipegang sebelumnya demi kepentingan politik. Dalam konteks agama, tindakan ini dapat disebut sebagai syirik atau musrik, di mana seorang pemimpin mengabaikan prinsip-prinsip yang diyakini demi keuntungan politik sesaat, sebuah dosa yang dalam ajaran Islam tidak akan diampuni.

Bergabungnya PDIP dalam kabinet Prabowo ini jelas menunjukkan sebuah paradigm shift dalam dinamika politik Indonesia. Para pemimpin yang sebelumnya saling berseberangan kini terpaksa melakukan adaptasi demi keberlanjutan kekuasaan. Ini bisa menjadi sinyal bahwa dalam politik, tidak ada yang benar-benar permanen—semua dapat berubah seiring dengan kebutuhan dan kepentingan.

Akhirnya, situasi ini mengingatkan kita bahwa politik adalah arena yang penuh dengan contradictions dan ambiguities. Apa yang tampak sebagai langkah strategis mungkin saja berujung pada bumerang yang menghancurkan reputasi partai-partai yang terlibat. Oleh karena itu, sangat penting bagi para pemimpin untuk tidak hanya mempertimbangkan keuntungan jangka pendek, tetapi juga konsekuensi jangka panjang dari tindakan mereka.

Dengan demikian, perjalanan politik ke depan akan semakin menantang, dan bagi PDIP, mengingat perjalanan panjang yang telah dilalui, dukungan terhadap Gibran dan Prabowo harus didasari oleh pertimbangan yang matang, bukan sekadar mengedepankan kepentingan pragmatis semata. Seperti pepatah yang mengatakan, “politik adalah seni kemungkinan,” namun kemungkinan tersebut haruslah berlandaskan pada prinsip dan moralitas yang kuat agar tidak terjerumus dalam jurang ketidakpercayaan dan kehilangan identitas.

 

Sumber