Oleh Damai Hari Lubis – Pengamat Hukum dan Politik Hukum Mujahid 212

Barter politik atau dukungan Jokowi kepada Prabowo Subianto telah berhasil terkondisikan dengan suksesnya pasangan Prabowo-Gibran dalam pemilu presiden 2024. Namun, masih ada kewaspadaan yang tersisa. Selain sulitnya Jokowi melepaskan diri dari sindrom kekuasaan, seiring masa jabatannya yang segera berakhir, ada bayangan hantu hukum karma yang mungkin berimbas pada dirinya akibat mengkhianati Megawati.

Selain itu, ada dosa politik berupa “menganaktirikan” wakil presidennya selama ini dengan lebih mengandalkan kepercayaan pada Luhut Binsar. Apakah ini akan berbuah karma politik? Karma adalah sebuah ungkapan budaya yang mengandung makna adanya pembalasan atas perbuatan negatif yang dilakukan seseorang.

Dalam kekhawatiran akan “karma” tersebut, Jokowi melakukan strategi politik ekonomi “ala mafioso,” dengan memperkuat jaringan dukungan politik kepada ormas-ormas besar. Jokowi berencana memberikan kesempatan pengelolaan tambang tanah air kepada NU, dan mungkin juga ormas-ormas besar lainnya yang memiliki basis nasionalisme. Manuver Jokowi ini tentu di luar role model yang ideal, justru blunder karena bertentangan dengan kebutuhan tampilan menjelang daluwarsa kursi kekuasaannya. Alih-alih melakukan politik yang bersahabat dan merangkul semua anak bangsa, Jokowi malah fokus pada golongan tertentu, mengabaikan prinsip profesionalitas yang seharusnya proporsional.

Strategi Jokowi yang penuh kekhawatiran ini menjadi inkonsisten dan gagal memahami urgensi bangsa dan negara terhadap dunia IPTEK, khususnya kebutuhan negara akan para pakar tambang. Selain itu, tindakan ini juga menyimpang dari konsep manajerial (good government) yang seharusnya diterapkan.

Selain alasan-alasan tersebut, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan Jokowi was-was dan tanpa sadar memperburuk citranya di masa akhir kepemimpinannya:

  1. **Gugatan Ijazah Palsu di PN Jakarta Pusat**
  • Salah satu isu yang mengganggu adalah gugatan mengenai ijazah palsu yang diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini mencuat dan menarik perhatian publik, menimbulkan keraguan terhadap integritas akademis Jokowi. Meskipun belum ada keputusan final, gugatan ini merusak citra Jokowi dan menambah beban psikologis.
  1. **Putusan PN Jakarta Selatan terkait Rocky Gerung**
  • Putusan Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang menolak gugatan terhadap Rocky Gerung, yang dikenal dengan pernyataan sarkastis “Jokowi Bajingan Tolol,” justru memicu simpati publik terhadap Gerung. Gugatan yang berupaya membungkam Gerung berbalik menjadi bumerang bagi Jokowi, memperkuat citra negatif di mata publik dan meningkatkan dukungan terhadap Gerung.
  1. **Intervensi Voeging oleh Perwakilan Intelektual**
  • Intervensi voeging oleh intelektual seperti Dr. M. Taufik dan M. Hatta Taliwang, bersama kuasa hukumnya Prof. Eggi Sudjana, memperkuat dukungan publik terhadap Gerung. Prof. Eggi Sudjana, yang juga pemimpin Tim Pembela Ulama & Aktivis (TPUA), memiliki pengaruh kuat dan basis massa yang signifikan. Dukungan ini semakin memperumit posisi Jokowi.
  1. **Simpati dan Dukungan dari Aktivis dan Oposan**
  • Gugatan terhadap Rocky Gerung memicu dukungan besar dari massa, terutama dari kalangan aktivis dan oposisi yang merasa tindakan hukum terhadap Gerung berlebihan. Ini juga menjadi ajang bagi para pendukung oposisi untuk menyuarakan kritik terhadap Jokowi, termasuk tuduhan penggunaan ijazah palsu, yang merupakan delik serius.
  1. **Dampak Politik Ekonomi ala “Mafioso”**
  • Kebijakan Jokowi dalam mengelola tambang dengan melibatkan ormas-ormas besar seperti NU dan ormas lainnya dinilai kontroversial. Banyak yang melihat langkah ini sebagai strategi politik untuk mengamankan dukungan menjelang akhir masa jabatannya. Namun, langkah ini justru dinilai blunder karena dianggap mengabaikan prinsip profesionalitas dan memperkuat tuduhan adanya kepentingan pribadi dalam kebijakan publik.
  1. **Pengabaian terhadap Profesionalitas**
  • Kebijakan yang mengabaikan para profesional dan pakar di bidang pertambangan, serta lebih memilih ormas tertentu, dinilai sebagai tindakan yang tidak profesional dan merugikan negara. Hal ini memunculkan kritik bahwa Jokowi lebih mementingkan dukungan politik daripada kepentingan nasional.
  1. **Karma Politik**
  • Kekhawatiran akan “karma politik” akibat mengkhianati rekan politik seperti Megawati dan menganaktirikan wakil presidennya selama ini juga menjadi faktor penyebab kecemasan Jokowi. Bayangan bahwa tindakan-tindakannya selama ini akan berbalik menjadi ancaman di masa depan menambah beban psikologis yang dihadapinya.

Dalam menghadapi berbagai tantangan ini, Jokowi harus berhati-hati dalam mengambil langkah strategis. Tindakan yang salah dapat memperburuk citranya dan mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintahannya. Transparansi, profesionalitas, dan keadilan harus menjadi prioritas utama untuk mengatasi berbagai isu yang mengancam masa akhir kepemimpinannya.

Selain itu, baru-baru ini, muncul gejala-gejala perkembangan politik yang berlatar belakang politik mercusuar. Jokowi dengan proyek IKN-nya ingin mengikuti gaya Ir. Soekarno membangun Tugu Monas dengan emas di pucuknya. Namun, terkait proyek IKN, tersiar intrik-intrik kuat bahwa “IKN bakal ditunda oleh Prabowo” dengan alasan perekonomian negara, sehingga IKN bukan prioritas Prabowo.

Prabowo, yang jauh lebih berbakat dalam bidang kepemimpinan dan lebih cerdas dari Jokowi, diyakini selain kondisi ekonomi negara yang tidak memungkinkan, juga bakal merasa repot dalam mengemban jabatan presiden kelak. Dari sisi “national and state priority needs,” IKN bukan hal yang prinsip. Dengan Prabowo “melupakan IKN,” tentunya bakal mengalir dukungan publik secara moral kepada kepemimpinan Prabowo, terlebih IKN tambah tidak populer ketika kepala otorita IKN mengundurkan diri dengan alasan miris bahwa “gajinya selama 11 bulan belum dibayar.”

Jokowi yang dalam sisi politik ekonomi seringkali mengambil inisiatif kebijakan hukum ekonomi tanpa bekal kajian mendasar atau “apa adanya,” kini menerapkan Tapera/Tabungan Perumahan Rakyat sebagai kelanjutan dari diskresi GNWU/Gerakan Nasional Wakaf Uang yang gagal total. Tapera ternyata sepi dukungan, baik dari Prabowo maupun Luhut, termasuk gagasan Tapera yang “dicela” oleh petinggi MPR, Bamsoet. Sebaliknya, Moeldoko ngotot sendirian mendukung Tapera.

Tapera kemungkinan besar menjadi residu politik hukum ekonomi Jokowi karena memaksa para pekerja di Indonesia, baik ASN, PNS, TNI/Polri, pejabat negara, pekerja/buruh BUMN, BUMD, hingga karyawan swasta menjadi peserta dana Tapera yang dikelola oleh BP Tapera. Namun, misi mendukung Prabowo-Gibran melalui kebijakan Tapera diyakini gagal total seperti GNWU.

Semua problematika ini membuat kepala bakal mantan presiden ke-8 ini semakin panas. Setiap hari dunia media sosial mencaci maki dan sumpah serapah, menghinakan dirinya dan keluarganya, termasuk istilah Gibran dan Kaesang sebagai anak haram konstitusi jilid 1 dan 2, selain keduanya memiliki laporan di KPK.

Publik mendeskripsikan kondisi perekonomian Indonesia di bawah Jokowi saat ini riil kembang kempis. Terlebih, kondisi psikologis Jokowi yang menderita sindrom kekuasaan, membuat diskresi politik yang diterbitkan olehnya akan lebih kacau balau daripada sebelumnya.

Dalam panggung politik, lawan bisa menjadi kawan atau sebaliknya. Prabowo mungkin akan mendapatkan dukungan dari banyak pihak oposisi sebagai deal politik awal jika ada proses penegakan hukum terhadap Jokowi yang dilakukan secara due process and equal. Terlebih, materi perkara Jokowi yang ada tidak melibatkan tanggung jawab hukum Prabowo, seperti tuduhan ijazah palsu serta kasus yang menyangkut Gibran dan Kaesang di KPK. Eksistensi kasus-kasus ini secara politis justru akan memperlancar Prabowo sebagai Presiden RI, meninggalkan Jokowi dan kroninya.

Apakah posisi Gibran sebagai wapres adalah jurus mutakhir untuk mengikat Prabowo agar tetap setia kepada Jokowi? Adapun kebenaran opini politik-hukum ini, publik mesti sabar menunggu. Setidaknya, karakteristik agresivitas sosok Prabowo dan signifikansi politik di tanah air mungkin dalam enam bulan Prabowo berkuasa sudah akan memperlihatkan arah keberpihakan Prabowo. Apakah tetap menomorsatukan kepentingan Jokowi dan para kroni lamanya, atau demi kepentingan seluruh bangsa ini? Pilihan ada pada Prabowo kelak sebagai RI 1.

Sumber