Guru dan siswa adalah salah satu kelompok yang paling terpengaruh dalam hal gagal bayar pinjaman online, juga dikenal sebagai pinjaman peer-to-peer (pinjaman P2P). Sayangnya, hal ini disebabkan rendahnya tingkat literasi keuangan di kalangan pendidik dan mahasiswa, situasi yang sangat ironis karena Indonesia sedang membina “generasi emasnya” untuk mewujudkan visinya tentang Indonesia Emas 2045.

Muhammad Amin, konsultan pendidikan, menegaskan, pemerintah bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lembaga keuangan harus memprioritaskan peningkatan literasi keuangan di kalangan guru dan siswa. Ini akan memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang tepat dan memahami sepenuhnya risiko yang terkait dengan pinjaman dari platform pinjaman P2P.

“Sebagian besar guru tergiur dengan pinjaman online karena mudah diakses, cepat, lugas, dan rahasia,” kata Amin, seperti dikutip Investor Daily, Rabu.

Menurut data OJK, 42 persen pinjaman daring yang gagal bayar berasal dari guru, menjadikannya kelompok tertinggi yang terdampak.

Meningkatkan kesejahteraan guru dipandang sebagai solusi untuk masalah ini. Dengan memperkuat landasan keuangan para pendidik, mereka menjadi kurang rentan terhadap daya pikat pinjaman online, yang seringkali menawarkan proses pencairan pinjaman yang mudah tetapi memiliki suku bunga yang tinggi.

Amin juga menyarankan agar kenaikan gaji guru dapat membantu mengatasi masalah ini. Namun, dia menekankan bahwa selama literasi keuangan tetap rendah, kasus terjerumus ke dalam perangkap pinjaman online akan tetap ada.

“Oleh karena itu, mempromosikan literasi keuangan di kalangan pendidik sangat penting. Mereka perlu dididik tentang bagaimana mengelola tantangan keuangan. Kenaikan gaji guru saja tidak akan menyelesaikan masalah terjerumus ke dalam perangkap pinjaman online,” jelasnya.

OJK telah menurunkan suku bunga harian untuk layanan pinjaman online menjadi 0,1 persen menjadi 0,3 persen dari suku bunga sebelumnya sebesar 0,4 persen, mulai awal tahun ini.

Per Februari 2024, menurut data OJK, pinjaman terutang dari perusahaan pemberi pinjaman peer-to-peer (P2P) mencapai Rp61 triliun ($3,8 miliar), naik dari Rp60, 1 triliun pada Januari, dengan 16,6 juta penerima pinjaman.

Rasio kredit bermasalah atau tingkat gagal bayar 90 hari (TWP90) mencapai 2,95 persen. Sebagian besar pinjaman gagal bayar disalurkan kepada anak muda berusia 19-34 tahun sebesar Rp693 miliar dengan 269.118 rekening pinjaman.

Kelompok usia tertinggi kedua dengan kredit macet berusia antara 35-45 tahun sebesar Rp532 miliar, disusul mereka yang berusia di atas 54 tahun sebesar Rp127 miliar, dan mereka yang berusia di bawah 19 tahun sebesar Rp1, 92 miliar.

Sementara itu, nilai kredit bermasalah di fintech P2P lending (30-90 hari) mencapai Rp4, 1 triliun. Sekali lagi, anak muda usia 19-34 tahun memberikan kontribusi paling banyak, yaitu sebesar Rp 2,1 triliun dan 1 juta rekening pinjaman, disusul oleh mereka yang berusia 35-54 tahun sebesar Rp 1,7 triliun, mereka yang berusia di atas 54 tahun sebesar Rp 268 miliar, dan mereka yang berusia di bawah 19 tahun sebesar Rp 21,5 miliar.