Kementerian Pendidikan didesak untuk meninjau metode yang digunakan untuk menentukan biaya kuliah di universitas negeri di tengah kenaikan baru-baru ini yang telah menimbulkan kekhawatiran tentang “komersialisasi” sistem pendidikan, kata para analis, Senin.
Sementara universitas negeri diharapkan untuk menyediakan pendidikan yang terjangkau dan berkualitas, banyak dari mereka telah mengenakan biaya pada tingkat yang sama dengan, jika tidak lebih tinggi dari, rekan-rekan swasta mereka.
Biaya kuliah di perguruan tinggi negeri harus disesuaikan dengan kebutuhan khusus fakultas dan biaya hidup di lokasi universitas tersebut, kata pakar pendidikan Muhammad Nur Rizal dari Universitas Gadjah Mada.
Perlu ada “standar yang diterima secara umum” tentang bagaimana perguruan tinggi negeri menentukan iuran untuk mencegah penyimpangan, tambahnya.
Nur Rizal menyarankan agar pemerintah memberikan otonomi yang lebih besar kepada perguruan tinggi negeri untuk menggalang dana secara mandiri dan menjajaki sumber keuangan alternatif selain pembayaran mahasiswa.
Rekan analis Ina Liem mencatat bahwa sistem pendidikan nasional menerima dana negara dalam jumlah yang cukup besar, dengan 20 persen anggaran negara dialokasikan untuk pendidikan.
Namun, alokasi dana negara yang besar membuat sistem pendidikan sangat rentan terhadap korupsi, katanya.
“Kita sering mendengar laporan anggaran yang disalahgunakan di perguruan tinggi negeri. Jika kita bisa mengatasi masalah ini terlebih dahulu, perguruan tinggi negeri mungkin memiliki anggaran yang cukup untuk menutupi pengeluaran,” tambahnya.
Menurut laporan kelompok swadaya masyarakat Indonesia Corruption Watch, terdapat 37 kasus korupsi yang melibatkan pejabat perguruan tinggi negeri pada tahun 2023, dengan potensi kerugian sebesar Rp 218,8 miliar ($13,6 juta).
Pemerintah memberikan subsidi bagi mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah, dengan besaran yang bervariasi tergantung tingkat pendapatan keluarga mahasiswa tersebut.